Susahnya Pilih Vendor Catering, Ini Pengalamanku

Awal: Kenapa Memilih Catering Bikin Pusing

Pada Maret 2022 aku berdiri di sebuah ruang pertemuan di Jakarta Selatan, memegang 12 brosur catering di satu tangan dan secangkir kopi yang mulai dingin di tangan lain. Acara yang harus diurus bukan pesta kecil: pernikahan keluarga besar dengan sekitar 150 tamu. Tekanan datang dari dua arah—anggaran yang ketat dan ekspektasi keluarga yang tinggi soal rasa serta presentasi. Aku ingat berpikir, “ini lebih rumit dari yang kubayangkan.” Itu setting-nya: deadline tiga bulan, banyak preferensi makanan, dan risiko besar kalau salah pilih.

Proses: Dari Rasa ke Harga, Ada Banyak Variabel

Pertama aku melakukan seleksi awal: review online, rekomendasi teman, dan beberapa grup vendor di media sosial. Dari pengalaman menulis acara selama sepuluh tahun, aku tahu review tidak cukup. Aku membuat matriks sederhana di spreadsheet—harga per porsi, opsi menu, kebijakan pembatalan, apakah mereka menyediakan pelayan, dan testimoni klien sebelumnya. Dalam minggu pertama aku menghubungi enam vendor. Tiga menolak tanggal karena sibuk. Dua lainnya menawarkan menu yang sangat menarik tapi harga melebihi budget. Hanya satu yang cocok di kertas.

Tapi kertas menipu. Jadi aku buat sesi tasting. Tasting bukan sekadar mencicipi; ini audit layanan kecil. Pada hari tasting di sebuah dapur catering di Bekasi, aroma rendang yang sedang dimasak memenuhi ruang. Aku duduk, mencicipi, dan memperhatikan: tekstur daging, keseimbangan bumbu, serta bagaimana penyajian disiapkan ketika “paniknya” keluar dari dapur. Satu vendor menyajikan makanan hangat, bumbu meresap—kualitasnya meyakinkan. Di sisi lain, ada yang makanannya terlalu greasy dan presentasinya datar walau fotonya bagus di Instagram. Itu momen yang mengonfirmasi — jangan percaya foto tanpa memeriksa proses.

Kontrak dan Logistik: Detil Kecil yang Sering Terlewatkan

Setelah tasting, negosiasi berlanjut. Di sini masalahnya beralih dari rasa ke logistik. Vendor pertama menawarkan harga menarik tapi klausul pembatalan yang kaku; deposit non-refundable bila ada pembatalan mendadak. Aku ingat nego di telepon panjang lebar malam itu: aku menolak beberapa poin, meminta jaminan pengganti jika mereka berhalangan (karena pandemi telah mengajarkan kita soal risiko), dan menegaskan soal kebutuhan diet tamu—vegetarian, alergi kacang, serta preferensi halal. Vendor yang akhirnya kubayar lebih mahal, tapi kontraknya jelas, lengkap dengan jadwal set-up, daftar peralatan yang mereka bawa, dan estimasi waktu pengiriman makanan agar tak dingin ketika disajikan.

Hari-H itu mengajarkan aku lebih banyak. Ada momen panik ketika generator gedung sempat mati 30 menit sebelum acara. Staf catering tetap tenang; mereka memiliki rencana cadangan (memanaskan ulang makanan dengan kompor portable dan menjaga suhu di chafing dish). Itu bukan kebetulan. Itu hasil pengalaman mereka menghadapi situasi buruk berkali-kali. Dari sini aku belajar: pengalaman vendor seringkali lebih bernilai daripada potongan harga 10%.

Hasil, Refleksi, dan Tips Praktis

Hasilnya? Acara berjalan mulus. Tamu memberi komentar positif soal rasa, dan keluarga puas. Namun yang paling berharga bagi aku adalah pelajaran yang didapat. Pertama, tes rasa itu wajib—bukan sekadar formalitas. Kedua, perhatikan kontrak: klausul pembatalan, asuransi, dan tanggung jawab jika ada kerusakan. Ketiga, tanyakan pengalaman vendor menghadapi krisis dan minta referensi acara terakhir mereka. Keempat, komunikasikan kebutuhan diet khusus jauh-jauh hari.

Praktisnya, begini ceklis singkat yang kubagikan kepada klien setelah pengalaman itu: (1) Lakukan tasting minimal 2 kali—oleh panitia yang berbeda; (2) Minta rincian biaya tersembunyi (transport, servis, overtime); (3) Pastikan ada person-in-charge hari H dan nomor telepon darurat; (4) Cek review terbaru dan hubungi referensi; (5) Siapkan plan B untuk listrik atau keterlambatan barang. Jika kamu butuh referensi vendor yang punya track record jelas, kadang sumber aggregator seperti onweddingsquad membantu mempersempit pilihan awal.

Aku tak mau memberi kesan semua mudah. Memilih catering memang melelahkan, menuntut kombinasi intuisi dan checking detail. Tapi setelah melewati proses ini beberapa kali, aku belajar membaca tanda-tandanya: komunikasi yang cepat, transparansi harga, kesiapan logistik—itu indikator keandalan. Jadi, bila kamu sedang memilih vendor, anggap ini bukan soal mencari vendor termurah atau terpopuler, tapi mencari mitra acara yang memahami risiko dan siap bertanggung jawab. Itu investasi yang terasa saat lampu menyala, makanan hangat tersaji, dan tamu tersenyum.